This is only a way to guide me find out who I am, how I feel and how things are connected to me.

Friday, March 16, 2007

Artikel Remaja

Mengasuh anak di usia remaja memang punya tantangan tersendiri. Kalau ada yang mengatakan bahwa remaja adalah sosok “anak kecil” dalam tubuh orang dewasa, memang begitulah adanya. Cara berpikirnya belum sematang para dewasa. Namun di sisi lain, mereka menuntut untuk dianggap sejajar dan mampu membuat keputusan sendiri.

Perbedaan antara remaja dan dewasa memang berbeda tipis. Cukup sulit mendefinisikan batasannya. Karena itulah, dalam mendidik remaja diperlukan kesabaran, ilmu yang memadai dan prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh.

Di antara begitu banyak kriteria untuk menjadi sepenuhnya dewasa, terdapat tiga hal yang perlu dikedepankan. Yang pertama adalah membangun kestabilan emosi. Kedua, menumbuhkan kesadaran remaja bahwa mereka mengemban suatu tanggung jawab sosial. Ketiga, memantapkan kemandirian remaja untuk menapaki tahap kehidupan yang lebih serius dan penuh dinamika.

Salah satu upaya membantu siswa mencapai kestabilan emosi adalah sharing dan diskusi yang dilakukan sesering yang diperlukan. Guru dan tim manajemen sekolah selalu siaga untuk mendengarkan siswa, mencari tahu akar dari suatu permasalahan bersama, serta membuka diri untuk mencari solusi terbaik dari setiap permasalahan. Semestinyalah kita menyadari bahwa siswa-siswi didikan adalah rekan, bukan individu yang bisa diperintah seenaknya.

Orangtua pun merupakan rekanan. Apalah artinya pendidikan yang susah payah dilaksanakan jika ternyata orangtua dan guru tidak sejalan? Sekolah pun pantas berinisiatif semaksimal mungkin, berusaha menjalin komunikasi dengan orangtua. Misal, dengan memberikan laporan mengenai perkembangan anak secara berkala.

Untuk menumbuhkan kesadaran remaja akan tanggungjawab sosialnya, baik dalam keluarga maupun di masyarakat, sekolah perlu menyelenggarakan tata tertib kedisiplinan yang ketat, pembagian peran kepemimpinan di kelas, penggalangan dana sumbangan bencana alam dan kegiatan semacam bakti sosial. Siswa-siswi dapat diajak terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat pedesaan untuk memahami bahwa hidup penuh perjuangan dan memerlukan ketabahan tersendiri. Pengalaman semacam inilah yang akan tinggal dalam diri mereka sebagai bekal menghadapi masa depan.

Bagi orangtua, anak adalah harga yang tak ternilai. Apapun akan dilakukan demi kebahagiaan sang anak. Namun orangtua dan guru harus selalu menyadari, bahwa suatu saat anak akan menapaki tahapan yang lebih sulit –dan mau tak mau- dengan kemampuannya sendiri. Karena itulah sekolah dan orangtua sepatutnya bersinerdi memberikan bimbingan kemandirian melalui metode pembelajaran aktif, pengasuhan yang bersahabat dan terbuka, serta pengalaman berorganisasi dan bekerjasama.

Waktu terus bergulir. Perubahan yang setiap detik memburu kemapanan selalu mengingatkan bahwa pengasuhan dan pendidikan yang saat ini dilakukan sebenarnya untuk mempersiapkan remaja untuk hidup di zaman yang berbeda dengan zaman kita. Begitu diucapkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thallib.(ein)