This is only a way to guide me find out who I am, how I feel and how things are connected to me.

Thursday, September 20, 2007

Melamun

Kota ini* selalu membuat warna hatiku meruap. Perasaan yang hanya bisa kusampaikan dengan aksara bisu. Entah di saku kota sebelah mana aura ini berbekas. Mungkin di antara kabut ringkih yang bergantung di beringin tua. Atau bisa saja tersapu angin ke tepi gereja yang diendusi asap. Hm, mungkin bercampur bau pasar yang diguyur hujan.

*??
Pagi kedelapan Ramadhan 1428 H.

Aku tenggelam di antara lembar-lembar tentang negosiasi yang mempertaruhkan nyawa seseorang. Ketegangan merambat sampai pundakku hampir kaku. Sekejap aku merasa bahwa salah satu dari mereka akan mematahkan leher seseorang, sampai tiba-tiba kudengar seorang lelaki berteriak dan memaksaku berhenti membaca.

"Hei, Pak! Pak, Pak!! Tolong, Pak!", ia berujar begitu keras, menegur seseorang.

Mataku beralih pada tangannya yang menunjuk-nunjuk memperingatkan. Dan di arah yang ia tunjuk dua orang lelaki saling pukul.

Aku menatap ngeri. Sementara kendaraan yang kutumpangi tetap melaju menjauhi tempat itu. Sesaat aku lihat lelaki yang memperingatkan itu sudah berdiri di sisi mereka, dan beberapa yang lain mencoba melerai.

Hah..! Hari masih pagi dan dingin, sepuluh menit menjelang 7.20, sebelum kartu absen diwarnai tinta merah keterlambatan. Aku masih merasa tidak enak karena kejadian itu. Tapi, baguslah. Ternyata hal itu mampu menarikku kembali ke dunia nyata.

Tuesday, September 18, 2007

Curhat boleh, dong?!

Perburuhan tiket yang mengenaskan
Anwar Yazidy

Cerita ini bermula ketika gw baca Koran tempo. Lupa tanggalnya, tapi 'tu koran bilang kalo tiket kereta H-1 dan H-2 udah abis digondol para calo! Sebagai calo sejati gw gak mau begitu aja menyia-nyiakan kesempatan emas ini (he..he.. enggak, deng!). Lalu dengan segenap kekuatan, hari Sabtu kemaren, 15 September 2007, gw menuju ke Gambir untuk hunting 'tu tiket. Kali ini bukan untuk ditimbun dan dijual lagi. Secara gw akan mudik jadi gw harus, dong bertiket barang satu biji.


Dengan gagahnya gw menuju stasiun UI untuk menuju Gambir. Dengan sedikit pertanyaan sebagai pelanggan kereta ekonomi yang belum pernah mengenyam enaknya naik kereta ekspres maka gw nanya ke seorang tukang karcis. Begini petikan percakapan antara gw yang lagi pengen naik kereta ekspres (selanjutnya gw singkat jadi GYLPNKE) dan tukang karcis yang berkumis dan bertampang kusut (selanjutnya gw singkat TKYBDBK).

GYLPNKE : “Pak kereta ekspres yang nyampe gambir jam berapa ya?”

TKYBDBK : “Jam 1 lebih 30 menit dan 55 detik, Mas” (Berasa tepat gitu. Padahal kalaupun di jadwal kedatangan tertera jam 13.00, paling juga bakal dateng jam 14.20! He..he..) Tapi boleh,lah kalau mengandalkan akurasi mesin pemantau antar kereta dan antar stasiun kali ya!

GYLPNKE : (memicingkan mata ke jam tembok yang tepat berada di belakang TKYBDBK dan berkata dalam hati) "Yup, jam masih menunjukkan 11.01 waktu Depok dan Citayam."

Ahirnya gw putuskan naik kereta ekonomi saja. Gw bisa turun di Gondangdia lalu menyambung ojek atau bajaj.

Dengen berbekal keterampilan naik kereta ekonomi gw menunggu kedatangan kereta di peron 2 selatan menuju Jakarta. Mengincar gerbong ke-5 dan dua meter kurang dari gerbong ke-6. (Sumpah informasi ini gak penting!!).

Gw menunggu dengan senyum yang sumringah..
Lima belas menit berlalu: muka gw sudah gak senyum.
Tujuh menit berikutnya: muka gw udah manyun.
Sepuluh menit berikutnya: gw gelisah dan mengepalkan tangan.

Tujuh puluh menit berikutnya: pedagang sekitar bubar, ada orang gila ngamuk!

Singkat cerita, gw udah nyampe Gambir.

Dengan sigap gw ikut ngantri di loket Cirebon Ekspress. Dalam hati gw bersorak, "Assiikkkkk, antriannya gak begitu panjang!" Sementara gw liat dua antrian di loket samping yang mengular. Dalam hati gw bergumam, “Kesian ya, orang mau mudik ampe ngantri panjang gitu, ha..ha.…”

Setelah 10 menit akhirnya giliran gw untuk berkomunikasi dengan penjaga loket. Gw secara lugas menyebutkan, “Mbak satu tiket untuk tanggal 11 Oktober jam 09.00 WIB.” Kemudian, kaget dan terperangah mendengar jawaban mbak penjaga loket. (Sebentar gw nangis dulu, keingetan lagi peristiwa naas itu!)

Mbak penjaga tiket bilang, “Mas, untuk tiket pesanan di loket sebelah, Mas! Ini untuk pemberangkatan hari ini.”

Wejangan gw: jangan pernah merasa menang sampe lo bener-bener mendapatkan kemenangan.


Dengan lesu dan tak berdaya dan sedikit sakit perut serta infeksi cantengan jempol kaki gw anfal, gw terpaksa mengikuti antrian yang panjang itu. 3 abad berlalu, akhirnya gw dapet juga tiket yang gw mau! Fhuuuiiihhh….

Kemalangan gw belum berahir disitu. Karena gw merasa lemah letih dan lesu makanya gw berinisiatif untuk naik kereta ekspress yang langsung nyampe stasiun UI. Gw sedikit beruntung karena konon berdasarkan terawangan mbak-mbak penjaga loket, kereta ekspress menuju UI akan nyampe jam 13.00 sementara jarum jam yang dipake orang disamping gw menunjukkan jam 12.30 teng.

Lumayan lah gw bisa sante-sante naik ke lantai tiga stasiun Gambir peron tiga, untuk menunggu kereta yang gw maksud. Dengan kecepatan dua meter per minggu gw nyampe di lantai atas. Lalu dengan takjub ada pengumuman bahwa kereta Pakuan ekspress segera memasuki stasiun Gambir. Dengan sisa tenaga dan sisa daya gw percepat laju kaki gw. Betul saja! Kereta udah nyampe sumringah langsung muka gw! Tapi dalam hati masih agak ragu “benarkah ini kereta yang dimaksud mbak-mbak penjaga loket tadi?” Ini kan masih jam 12.10, atau mungkin 'ni kereta lebih cepat dari perkiraan mbak-mbak tadi atau jam orang yang gw liat ketelatan. Tapi sutralah gw kan mahasiswa dengan inisiatif tinggi, segera gw layangkan pertanyaan ke petugas peron, yang sedang didampingi oleh seorang ibu-ibu dengan siluet seperti Eva Arnaz (artis lawas).

Gw: “Pak, ini kereta akan berhenti di UI gak?”
PP alias Petugas Peron : (Diam sambil agak takjub mendengar pertanyaan gw)
Gw : “Pak, berhenti gak?” (Udah mulai panik karena sebentar lagi pintu kereta tertutup)
PP: (Masih diam, dan agak ragu menjawab)
Ibu-ibu: Berhenti, Mas (Dengan heroik tuh ibu menjawab, menambah 30% kadar keyakinan hati gw akan kereta yang teronggok di depan gw bahwa kereta ini akan berhenti di stasiun UI! Pasti!)

Gw langsung bergegas masuk ke kereta. Dan betul saja, detik berikutnya tuh pintu udah nutup, hanya selisih 2,1356 detik lebih awal sehingga gw masih bisa naik. (Ini ngarang loh!)

Sampai di dalam kereta gw cari tempat yang paling ok untuk stress release. Tapi, hati gw kok masih merasa janggal ya ama ni kereta. Sementara kereta tetap ajeg melaju dengan kecepatan yang lumayan kencang.

Gw mulai agak ragu lagi, sampai petugas karcis datang untuk memeriksa karcis, dan gw bertanya “Mas, ini akan berhenti di UI gak?”

Dengan tegas petugas karcis bilang “TIDAK”.

Ya, dia bilang “TIDAK”.

Sekali lagi, dia bilang “TIDAK.”

Sekali lagi, ah! Dia bilang “TIDAK!”

Arggghhhhhhhhhhhhhhhh!!!!

Sudah bisa di tebak gw akan di turun di Stasiun Bogor!!!!! Stasiun Bogor!!!! Stasiun Bogor!!!!



*edited by Sara in few parts. Makasih ya, Anwar!


di Wajah Tak Bernama pada Malam Sutera

Bunga Batu
Sitor Situmorang

Kurasa kau tahu, lebih dari lagu
Kebisuan lebih berkata dari duka
Karena ditinggalkan ia maka setia
Pengetahuan lama sudah membatu

Kini di atasnya tumbuh bunga
Indah seindah raut wajahmu
Semerbak kenangan sepahit empedu
Darah hitam yang mewarnai jiwa

Seribu tahun sebelum kita dan nanti
Dari dalam tanah orang menggali
Wajah tertera pada lapisan batu
Bergaris cerita mati - masih terharu

Tuesday, September 4, 2007

Maybe Someday

Ada saatnya kita tidak bisa berhenti melakukan sesuatu yang kita sukai. Age of Empire*, chatting, browsing, kerja, tidur, dan lain-lain. Saat berhenti, rasanya seperti dirampas. Suka atau tidak. Sadar atau tidak.

Kita memang harus tahu kapan harus berhenti. Tentang apapun itu. (Bahkan hidup pun punya agenda untuk berhenti) Tapi, piye? Bagaimana caranya? Nah, itu dia masalah gw!

Jadilah malam ini gw tergugu di depan layar komputer di warnet berpintu geser di muka jalan sawo a.k.a kober, seberang kampus UI. Dengan badan lelah tapi segar setelah aerobic ria di kantor. Juga dengan hati yang masygul antara kangen kampus dan lega sudah lulus***

Iya, gw gak bisa berhenti. Rasanya kepala gw penuh sesak kalau gw mencoba menyangkalnya. Meski gw berusaha meyakinkan diri gw berkali-kali. Things wont be better if i just let it be.. Harus ada saatnya ketika lampu yang terang benderang dengan nyalanya yang tegas menghentikan erosi ini.

Someday. Maybe someday i'll be glad with everything that had happenned to me. Maybe someday there'll be the end of the mysteries. Maybe someday****.

*Game perang dengan skenario njelimet yang menantang keahlian politik dan militer. Hueh? Repot amat!
** bagaimana (bahasa jawa)
*** lulus gw, men!
**** ....... (isi sendiri ya)